Julukan Pesta Demokrasi Terhadap Pemilu Mestinya Patut Kita Curigai

ByRedaksi LStv

Mei 31, 2023

Lintas Samudra // Lampung
Masyarakat Indonesia akan kembali menggelar Pemilihan Umum (Pemilu). Sebagai hajat dalam memilih pemimpin negara lima tahun ke depan, Pemilu kerap dianggap sebagai momentum demokrasi. Itu karena dalam gelarannya, masyarakat diberikan hak untuk memilih siapa yang dianggap layak menjadi Presiden.

Namun, julukan pesta demokrasi terhadap pemilu mestinya patut kita curigai. Sebab, bisa saja ternyata sebutan itu karena tak ada momentum lain bagi masyarakat menyalurkan suaranya. Hal itu mesti dipertanyakan ulang, apakah Pemilu benar-benar sebuah pesta? Atau benar sebagai sebuah penerapan ideal sistem demokrasi?
Sistem pemerintahan demokrasi sudah lama dikenal dan diterapkan sejak zaman Yunani Kuno.

Kata Demokrasi sendiri berasal berasal dari bahasa Yunani “Demos” yakni rakyat dan “Kratos” yang berarti pemerintahan.

Maksudnya, dalam sistem demokrasi rakyat memiliki kedaulatan dalam berpendapat serta terlibat dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Maka tak salah jika Demokrasi juga disebut sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sebagai negara penganut demokrasi, Indonesia melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih kepala negara.

Setiap orang memiliki hak untuk memilih orang yang layak menjadi pemimpin. Tapi apakah demokrasi sebatas itu?

Dalam sistem demokrasi rakyat memiliki kedaulatan mutlak atas negara. Masyarakat berhak menyampaikan kriktik terhadap kinerja pemerintah baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, sejumlah indikator dalam hasil survei BPS tahun 2018-2020 tentang Indeks Demokrasi menunjukan kecacatan pada demokrasi di Indonesia.

Pada Indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat naik dari 82,35% menjadi 86,76%.

Ancaman atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat naik dari 83,35% naik ke 86,95%.

Aturan tertulis yang membatasi kebebasan menjalankan ibadah agama 80,43% ke 84,02%. Tindakan atau pernyataan pejabat membatasi menjalankan ibadah 84,93% menjadi 93,38%.

Hasil survei itu menunjukan ada penurunan kualitas demokrasi di Indonesia. Harus diakui, Pemilu menjadi satu-satunya momentum negara memberikan dan memfasilitasi masyarakat menyampaikan suara.

Menggeser esensi demokrasi menjadi hal prosedural semata.
Pemilu langsung di Indonesia pertama dilaksanakan pada tahun 2004.

Melalui trobosan itu, setiap rakyat memiliki hak untuk memilih orang yang akan memimpin negara untuk lima tahun ke depan. Tentu hal sistem pemilihan sudah ideal bagi negara penganut sistem demokrasi.

Namun, sayangnya demokrasi tak hanya ihwal pemilihan kepala negara. Demokrasi menyangkut distribusi dan pemenuhan hak-hak setiap warga negara.

Setiap orang memiliki kebebasan dalam menentukan sikap atas berjalannya sebuah negara tanpa rasa cemas. Tanpa ada ancaman dan pembatasan.

Kebebasan bagi setiap warga negara itu bahkan telah tertuang dalam UUD 1945. Salah satunya adalah Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hasil survei BPS tentang indeks demokrasi di Indonesia tentu menjadi tolak ukuran penerapan demokrasi di Indonesia. Jika dikaitkan dengan UU ini saja, kita tahu penerapan demokrasi di Indonesia belum dilakukan secara benar.
Perbaikan itu tidak mustahil dilakukan.

Untuk melahirkan atmosfer demokrasi yang sehat tentu perlu sistem pemerintahan yang sehat pula. Pemerintah baik eksekutif dan legislatif mesti memiliki komitmen yang kuat terhadap kelaikan demokrasi di Indonesia.

Sebagai penganut sistem Pemilu, tentu sangat diharapkan sistem pemilihan itu juga berjalan secara sehat. Masyarakat mesti cerdas dalam menggunakan hak pilih. Sebab hanya dari kertas suara yang dicoblos secara cerdas dan bertanggungjawab lahir pemerintahan yang sehat.

Namun yang terpenting lembaga pengawss sebagai pihak independen mesti mejalankan tugasnya dengan baik, Pembentukan pengawas pemilu secara independen juga pertama kali pada 2004. Kelahirannya banyak diharapkan mampu mewujudkan cita-cita reformasi. Lahirnya lembaga pemantau Pemilu diharapkan bisa mendorong terlaksananya Pemilu yang sehat dan tidak melahirkan tirani seperti pada rezim sebelumnya. Pemilu memang bukan satu-satunya penerapan demokrasi, namun nasib demorasi ditentukan dari bilik TPS. ((Harun))